Sabtu, 29 Oktober 2011

Makalah kasus Hukum pidana

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menj urus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika.
Peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta dilakukan secara terorganisir (or ganizeci crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational crime).

1.2 Rumusan Masalah
Beberapa pokok masalah atau permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana sejarah peraturan narkotika di Indonesia ?
2. Bagaimana tindak pidana narkotika ?
3. Bagaimana ketentuan penyalagunaan dalam Undang-undang narkotika ?








1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
4. Untuk mengetahui sejarah peraturan narkotika di Indonesia
5. Untuk mengetahui tindak pidana narkotika
6. Untuk mengetahui ketentuan penyimpangan dalam Undang-undang narkotika


1.4 Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan paper ini adalah: Study kepustakaan atau library research. Yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari data-data melalui kepustakaan.


Bab II
 Pembahasan
2.1 Sejarah Peraturan Narkotika di Indonesia
Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.
Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.
Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba.
Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus miningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.
BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.
BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi: 1. mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan 2. mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.
Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.
Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

2.2 Tindak Pidana Narkotika
Dari konvensi-konvesi yang sudah diadakan tidak memberikan standar
internasional mengenai aturan-aturan yang mengatur tindak pidana narkotika danpsikotropika. Sehingga antara negara yang satu dengan negara lainnya yang ikutserta dalam konvensi tersebut berbeda-beda aturannya mengenai narkotika danpsikotropika. Hal inilah yang menyebabkan para penjahat narkotika danpsikotropika berkembang pesat di negara-negara yang pengaturan mengenainarkotika dan psikotropika masih lemah. Dari alasan tersebut maka perlu adanyastandar internasiona yang menjadi landasan bagi tiap-tiap negara yang ikut sertadalam konvensi tersebut dalam membuat peraturan-peraturan yang mengaturtentang narkotika dan psikotropika, sehingga dapat mempersempit pergerakandari bandar-bandar narkotika dan psikotropika.
2.Untuk wilayah indonesia sendiri peraturan mengenai tindak pidana narkotika dan
psikotropika sudah diatur dalam UU no.5 tahun 1997 mengenai psikotropika danUU no.22 tahun 1997 mengenai narkotika. Dalam UU tersebut sudah dijelaskansecara pasti apa itu narkotika dan psikotropika beserta sanksi-sanksi yang akandikenakan kepaa pelanggarnya. Namun dalam UU tersebut masih terdapatbeberapa kekurangan, kekurangan tersebut yaitu tidak adanaya pasal yangmengatur mengenai rehabilitasi secara khusus. Menurut kami hukuman sanksiberupa pidana atau fisik lainnya sangat perlu diberlakukan kepada orang-orang
yang menyalahgunakan narkotika dan psikotropika, namun jika diperhatikan lebihlanjut lagi, para pengguna narkotika dan psikotropika merupakan korban darikejahatan yang mereka lakukan sendiri oleh karena itu diperlukannya rehabilitasiuntuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikoteropika.

2.3 ketentuan penyalagunaan dalam Undang-undang narkotika
Dari sisi medis, narkoba memang dilegalkan dan hanya digunakan untuk keperluan medis dan memiliki nilai positif. Tapi bila digunakan diluar keperluan medis, narkoba membawa dampak negative dan membahayakan bagi para pemakainya. Penyalah gunaan narkoba diluar kepentingan medis sesungguhnya perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu para produsen, pengedar dan jaringannya, dan pemakainya harus ditindak tegas secara hukum. Untuk penanggulangan penyalah gunaan narkoba diperlukan upaya yang terpadu dan komprenhensif yang meliputi upaya preventif, represif, terapi dan rehabilitasi. Penanggulangan harus dilakukan bukan saja oleh pemerintah tetapi juga oleh non pemerintah penanggulangan pada upaya “ Demand reduction and supply reduction “ secara simultan, sinkron, koordinatif, kontinyu dengan perangkat hukum memadai.
Dalam hal hukum, tentunya kita semua ingin mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka mutlak diperlukan penegak hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan. Norma dan kaedah yang berlaku di masyarakat saat ini sudah tidak lagi dipatuhi dan dihormati sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Untuk itu masyarakat memerlukan hukum yang berfungsi sebagai pengatur segala tindak tanduk manusia dalam masyarakat, oleh karena itu,dalam menjalankan fungsi hukum itu pemerintah dapat menggunakan menggunakan alat paksa yang lebih keras yaitu berupa sanksi.   Sanksi merupakan suatu akibat yang timbul diberikan dari reaksi atas suatu perbuatan, contohnya sanksi pidana yang dapat juga diberikan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang saat ini merupakan hal yang perlu sekali mendapat perhatian khusus mengingat dampak-dampak yang dapat ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika tersebut. Narkotika adalah sejenis zat kimia atau obat yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 :
(1)     Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III.
(2)     Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat(1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tterpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3)     Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Namun di sisi lain narkotika sering digunakan di luar kepentingan medis dan ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya akan menjadi suatu bahaya bagi si pemakai, yang pada akhirnya juga dapat menjadi pengaruh pada tatanan kehidupan sosial masyarakat, bangsa dan negara. Hampir setiap negara di dunia menyatakan perang terhadap penyalahgunaan narkotika, dan menganggapnya sebagai suatu kejahatan berat, terutama bagi penanaman bibit, memproduksi, meracik secara ilegal, dan para pengedar gelap. Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia sekarang ini dirasakan gawat. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai letak strategis, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, dan politik dalam dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi menanggulangi kejahatan penyalahgunaan narkotika, yaitu dengan diundang-undangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang baru menggantikan undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengganti undang-undang yang lama itu dirasa perlu karena seiring dengan bertambahnya waktu dirasakan tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan perkembangan penyalahgunaan narkotika yang semakin meningkat dan bervariasi motiv penyalahgunaan dan pelakunya, dilihat dari cara menanam, memproduksi, menjual, memasok dan mengkonsumsinya serta dari kalangan mana pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut, karena tidak sedikit yang melakukannya adalah dari kalangan anak-anak dan remaja yang merupakan generasi penerus bangsa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, setiap pelaku penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan sanksi pidana, yang berarti penyalahguna narkotika dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana narkotika. Harus disadari bahwa masalah penyalahgunaan narkotika adalah suatu problema yang sangat komplek, oleh karena itu diperlukan upaya  dan dukungan dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan, karena pelaksanaan undang-undang tersebut, semuanya sangat tergantung pada partisipasi semua pihak baik pemerintah, aparat keamanan, keluarga, lingkungan maupun guru di sekolah, sebab hal tersebut tidak dapat hilang dengan sendirinya meskipun telah dikeluarkan undang-undang yang disertai dengan sanksi yang keras. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, termasuk dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu  agar penggunaan narkotika tidak disalahgunakan haruslah dilakukan pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama menurut undang-undang yang berlaku. Permasalahan narkotika dipandang sebagai hal yang gawat, dan bersifat internasional yang dilakukan dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kejahatan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan masyarakat, bangsa dan negara serta Keutuhan Nasional Indonesia. Hal ini merupakan tindakan subversi yang merupakan rongrongan yang dilakukan oleh pelaku perbuatan pidana narkotika terhadap bangsa dan negaranya sendiri tanpa disadari, terutama generasi muda, akibatnya menjadi bangsa yang lemah baik fisik maupun psikisnya. Untuk itu dalam hukum Nasional Indonesia telah mengatur segala yang berhubungan dengan narkotika dalam suatu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang dapat dikenakan pidana beserta denda yang harus ditanggung oleh penyalahguna narkotika atau dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana narkotika. Masyarakat awam banyak yang mengira bahwa hukuman yang dijatuhkan pada pelaku perbuatan pidana narkotika itu sama. Padahal dalam undang-undang narkotika sendiri tidak membedakan pelaku perbuatan pidana narkotika beserta sanksi yang berbeda pula. Dalam penyalahgunaan narkotika, tidak hanya pemakai saja yang dapat dikenakan pidana, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana, baik pelaku yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan dan penganjur maupun pembantu dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana. Adapun  pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan mengenai hal tersebut adalah pasal 55 dan 56 yaitu sebagai berikut :
Pasal 55 :
(1)  Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana :
Ke-1     Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan
Ke-2     Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2)  Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 :
Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan :
Ke-1     Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
Ke-2     Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.


Bab III
Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalahan, dapat penulis simpulkan bahwa:
     - Pembentukan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebabkan:
     -Semakin meningkatnya peredaran dan penyalahgunaan Narkotika di Indonesia khususnya pada tahun 1970 dengan bermacam-macam jenis yang dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan bagi si pemakai yang penggunaannya diluar pengawasan dokter, juga kemungkinan bahaya besar bagi kehidupan bernegara baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan maupun ketahanan nasional bangsa Indonesia disalah satu sisi dan disisi lain untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
     - Sebagai penyempurnaan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sebelum UU No. 22 Tahun 1997 terbit.
     -Munculnya UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah memberikan dampak yang berarti dalam penegakkan hukum di bidang Narkotika di Indonesia. Sudah banyak pelaku yang tertangkap dan diberi sanksi sesuai dengan UU narkotika, meski belum dapat menghilangkan narkotika di Indonesia namun minimal sudah mengurangi. Dari aspek penegak hukum terdapat oknum aparat penegak hukum yang justru menjadi pelaku dan tidak transparannya pemusnahan barang bukti, menjadi faktor yang menghambat upaya pemberantasan narkotika.
Sebagaimana paraturan perundang-undangan lain, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang dapat dijadikan peluang bagi pelaku untuk terhindar dari sanksi pidana. Sehingga banyak pihak yang menginginkan perubahan/revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.







                                            DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, Moh. Zakky A.S, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, 1985, Menanggulangi Bahaya Narkotika, Cetakan Pertama, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo, 1976, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, PT. Karya Nusantara, Bandung.
INTERNET
Lidya Christin Sinaga, 2008, Indonesia di Tengah Bisnis Narkoba Ilegal Global, (Online), (http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/32-lidya-christin-sinaga , diakses 5 Oktober 2009).
Patri Handoyo, 2009, Mengapa Bangsa Indonesia perlu Memiliki UU Narkotika dan Psikotropika, (Online), (http://www.acehforum.or.id/mengapa-bangsa-indonesia-t26783.html?s=9e3dfdf606a5b55f7e0ea17e9a94c973&amp , diakses 5 Oktober 2009).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.







hukum pajak

  Bab 1
                                                         Pendahuluan
I.I Latar belakang
Abstrak
Pajak memiliki peranan penting dalam tata kelola negara, sebagian negara di dunia menggantungkan penerimaannya pada pajak, termasuk Indonesia. Namun saat ini pajak hanya dipandang dari satu sisi saja, yaitu hanya dari sisi penerimaan (budgeting), padahal seharusnya fungsi budgeting pajak haruslah diimbangi dengan fungsi regulasi untuk mempercepat terciptanya kesejahteraan umum dan tercapainya tujuan negara.Dengan adanya perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan China (ACFTA) di satu sisi akan menguntungkan perekonomian kita, tetapi di sisi lain produksi dalam negeri Indonesia dapat terancam. Untuk itu pentingnya peran pemerintah dalam hal proteksi pasar dalam negeri dan pemberian insentif fiskal.


Pertumbuhan ekonomi suatu Negara dapat terlihat dari bagaimana pemerintahannya memberikan kemudahan atau insentif dalam perpajakan kepada pelaku usaha dengan memberikan pelayanan terpadu yang mudah, cepat, efisien dan transparan. Sehingga pelaku usaha mau dan betah menanamkan modalnya di Indonesia, lapangan kerja luas terbuka, kemiskinan berkurang dan meningkatkan daya saing sektor riil.

Terkait dengan perjanjian perdagangan bebas ASEAN dan China yang ada di depan mata, pemerintah dipandang sangat perlu untuk memberikan langkah-langkah stimulus fiskal dan proteksi terhadap pelaku usaha dalam negeri. Langkah ini harus diambil untuk meningkatkan daya saing produksi dalam negeri dan sebagai tindakan perlindungan terhadap membanjirnya produk impor China yang tidak hanya banyak tapi juga murah, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam produksi dalam negeri.

Untuk itu, pemerintah seharusnya dapat lebih memandang pajak tidak hanya sebagai instrumen budgeting (pengumpulan dana) saja, tetapi juga sebagai instrument pengatur yang membantu terciptanya keadilan, keseimbangan dan terpenuhinya tujuan-tujuan Negara kita.
1.    Peta Konsep Fungsi Mengatur Dalam Pajak
Sumber dari berbagai sumber, diolah sendiri
I.2   Kerangka Teori
Ø       Menurut Undang-undang Dasar 1945 (hasil amandemen) khususnya pasal 23A berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur oleh undang-undang” (Redaksi Sinar Grafika, 2006;16), dan menurut Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa, berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ø    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pajak” adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yg harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dsb;
Ø   Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “Mengatur” berarti membuat (menyusun) sesuatu menjadi teratur (rapi).
Ø   Sehingga dapat saya simpulkan bahwa fungsi mengatur dari pajak “adalah sebuah fungsi untuk membuat keteraturan tata kelola negara, yang menyangkut fungsi pembatasan konsumsi, proteksi, konservasi, distribusi dan stimulus terhadap perekonomian, masyarakat dan lingkungan dengan tujuan mempercepat kesejahteraan umum, melindungi hak-hak, mencegah kerusakan lingkungan dan sebagai koridor terlaksananya tujuan-tujuan Negara.”
Ø   Stimulus fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan instrumen-instrumen fiskal seperti pajak (tax), tranfer, atau belanja pemerintah (government spending/purchase) yang ditujukan untuk mempengaruhi indikator-indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Secara umum, kebijakan fiskal adalah bentuk kebijakan ekonomi makro dari pemerintah di mana pencapaian sasarannya difokuskan pada barang-barang di dalam negeri (domestic goods), rumah tangga, ataupun perusahaan/swasta/pengusaha.
Ø   Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disingkat DJBC atau bea cukai adalah direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai. Pada masa penjajahan Belanda, bea dan cukai sering disebut dengan duane, seiring dengan globalisasi bea dan cukai mengenakan istilah CUSTOMS.
Ø   Direktorat Jenderal Pajak adalah sebuah direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan.Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan fungsi:
·    Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang perpajakan.
·     Pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan.
·    Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang perpajakan.
·     Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan.
·    Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal.




1.3 Rumusan Masalah
   - Penurunan Tarif PPh Pribadi dan Badan ?
   - PPN DTP Untuk Eksplorasi MIGAS ?
   - Kebijakan-kebijakan Proteksi Terhadap Produsen Dalam Negeri.?
   - Kebijakan Bea Masuk DTP Untuk Industri Tertentu ?
   - Pengenaan Cukai ?
   - Penghapusan Sebagian PPnBM Untuk Meningkatkan Daya Saing Industri ?
   - Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Progresif ?
   - Menaikan Tarif Parkir ?
   - Pajak Penggambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan ?





















Bab II
Pembahasan

Pajak memiliki fungsi penerimaan dan fungsi mengatur. Pajak sebagai fungsi mengatur adalah suatu alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial ekonomi, misalnya dengan membatasi atau mengatur konsumsi masyarakat, melakukan distribusi pendapatan, memberikan insentif pada investasi, perlindungan industri dalam negeri dan pembangunan ekonomi dan sebagainya . Pajak dalam fungsi mengatur bertujuan untuk mempercepat kesejahteraan umum, melindungi hak-hak, mencegah kerusakan lingkungan dan sebagai koridor terlaksananya tujuan-tujuan Negara.

Pajak yang digunakan juga untuk menjalankan kebijakan stimulus untuk pelaku dunia usaha yang nantinya akan dapat menarik investor untuk menanamkan dananya di Indonesia dan membuatnya betah, serta mengurangi pengangguran, meningkatkan daya saing, daya beli dan mengurangi tingkat kemiskinan. Untuk itu pemerintah harus lebih agresif untuk memberikan berbagai stimulus fiskal dan nonfiskal dengan memberikan insentif ke sektor-sektor industri yang berpotensi tergilas oleh roda besar perdagangan bebas ASEAN-China.

Fungsi mengatur dengan pajak yang paling umum dan sering kita dengar ,serta sedang dilakukan oleh pemerintah , antara lain adalah dalam kebijakan seperti di bawah ini :

2.I Penurunan Tarif PPh Pribadi dan Badan
Berdasar UU No 36 Tahun 2008 tentang PPh yang berlaku 1 Januari 2009, tarif PPh perorangan turun dari 35% menjadi 30%, sedangkan tarif PPh badan turun dari 30% ke 28% sejak 1 Januari 2009. Stimulus fiskal ini sangat berpengaruh untuk konsumsi, karena secara efektif penghasilan orang naik sekitar 11% yang juga mengakibatkan konsumsi dan ekonomi meningkat.

Stimulus fiskal ini terlebih dahulu diberikan kepada perusahaan. Agar perusahaan dapat berproduksi lebih baik dan pasti akan menyerap tenaga kerja. Untuk kebijakan ini pada 2009, pemerintah mengalokasikan dana stimulus fiskal Rp 73,3 triliun, yang terdiri dua bagian besar. Pertama, pemotongan pajak Rp 61.1 triliun yang telah tercantum dalam belanja APBN 2009. Kedua, tambahan belanja infrastruktur yang didistribusikan kepada 12 kementerian/lembaga (K/L) se-nilai Rp 12,2 triliun. Hingga 22 Juli, penyerapan stimulus infrastruktur terealisasi Rp 554,7 miliar atau 4,55%.

2.2  PPN DTP Untuk Eksplorasi MIGAS
Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi nasional minyak dan gas bumi serta panas bumi. Fasilitas fiskal ini diberikan dengan syarat : PPN DTP diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eskplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi yang memenuhi syarat.
·  Ketentuan yang itu berupa, barang belum dapat diproduksi di dalam negeri.
·  barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan.
Adapun kegiatan hulu eksplorasi minyak dan gas bumi yang dimaksud adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas di wilayn yang ditentukan.

Sementara itu, usaha eksplorasi panas bumi yang dialokasikan PPN DTP adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi. Yang tujuan kegiatan itu untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan potensiu panas bumi.

2.3  Kebijakan-kebijakan Proteksi Terhadap Produsen Dalam Negeri
Secara keseluruhan, dampak positif dari perjanjian perdagangan AFTA dan FTA ASEAN-China masih lebih besar. Sangat berpotensi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dengan meningkatnya ekspor Indonesia. Namun tetap saja ada dampak negatifnya, yakni terancamnya sektor produk kulit, metal, manufaktur, pakaian dan pertanian. Hal ini terjadi akibat lonjakan barang impor yang tinggi bahkan memiliki harga di bawah harga pasar domestik. Untuk itu pemerintah dipandang perlu untuk melindungi sektor-sektor tadi dengan menggunakan diantaranya pembebanan pajak (bea masuk) dan pembatasan kuota. Adapun contoh dari pajak yang digunakan terkait fungsi perlindungan terhadap produksi dalam negeri adalah :
Bea Masuk ditanggung Pemerintah (BMDTP)
Adalah kebijakan untuk memajukan produksi dalam negeri agar dapat lebih bersaing dan ekspor meningkat dengan cara meringankan bea masuk untuk bahan baku produksi.
Bea Masuk Anti Dumping (BMAD)
Seperti yang kita ketahui bersama praktek dumping tentu akan sangat mengancam eksistensi produk dalam negeri jika tidak ditangani dengan serius oleh pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan dumping adalah : praktek menjual barang di pasar luar negeri lebih murah dari harga di pasar dalam negeri (harga normal). Untuk mencegah dan meminimalisir praktek dumping maka pemerintah Indonesia menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Bea Masuk Anti Dumping dikenakan terhadap barang impor setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut.
Bea Masuk Imbalan
Bea Masuk Imbalan adalah tambahan bea masuk yang dikenakan terhadap barang yang mengandung subsidi yang menyebabkan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis mengalami kerugian. Bea masuk imbalan dikenakan karena suatu negara memberikan subsidi atas barang yang diekspornya, sehingga harganya sangat rendah di negara pengimpor yang berakibat meruginya produsen barang sejenis dalam negeri.

2.4 Kebijakan Bea Masuk DTP Untuk Industri Tertentu
Kebijakan ini dilakukan untuk memajukan produksi dalam negeri agar dapat lebih bersaing dan ekspor meningkat dengan cara meringankan bea masuk untuk bahan baku produksi. Pada tahun 2010 ada 9 sektor industri yang menerima fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah (BM-DTP) senilai Rp 1,2. Jumlah ini mengalami penurunan dari tahun 2009 yang mencakup 12 sektor dengan anggaran Rp 1,3 triliun.Sembilan sektor itu adalah:
1.    Komponen otomotif
2.    Komponen elektronika,
3.    Peralatan komponen telematika,
4.    Sorbitol,
5.    Bahan baku plastik,
6.    Bahan baku karpet,
7.    Komponen alat berat komponen,
8.    Komponen perkapalan dan
9.    Peralatan penunjang PLTU.
Inti tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan sektor manufaktur dalam negeri. Selain itu kebijakan ini juga terkait dengan proyek pembangunan pembangkit listrik PLTU berkapasitas 10.000MW yang dijamin pemerintah secara penuh.

2.5  Pengenaan Cukai
Pengenaan cukai merupakan salah satu fungsi pajak sebagai perlindungan terhadap masyarakat. Barang kena cukai adalah barang yang berdampak negative bagi kesehatan, lingkungan hidup dan norma-norma serta tata tertib sehingga harus dibatasi secara ketat peredaran dan pemakainnya. Maka cara membatasinya adalah dengan instrumen tarif, sehingga barang yang dimaksud dapat dikenai tarif cukai paling tinggi  . Contoh barang-barang yang dikenai cukai adalah rokok, minuman yang mengandung alcohol.

Berdasarkan penjelasan pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007, penetapan tarif cukai paling tinggi (57%, 80%, 275%, 1150%) didasarkan atas pertimbangan barang kena cukai apabila barang yang karena sifat atau karakteristiknya berdampak negative bagi kesehatan, lingkungan dan tertib nasional, ingin dibatasi secara ketat .

Dengan pengenaan tarif cukai diharapkan tingkat konsumsi barang-barang kena cukai dapat dibatasi. Karena dengan pengenaan tarif cukai harga dasar barang kena cukai akan menjadi lebih mahal, sehingga konsumsi masyakat terhadap barang-barang ini dapat menurun. Dengan menurunnya tingkat konsumsi terhadap barang kena cukai ini diharapkan masyarakat dapat lebih sehat.

2.6  Penghapusan Sebagian PPnBM Untuk Meningkatkan Daya Saing Industri
Insentif fiskal ini  diberikan berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 137/PMK. 011/2008 tanggal 7 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan PPnBM.

Dengan penghapusan PPnBM ini dalam rangka meningkatkan daya saing bagi industri elektronika nasional, perlu dilakukan pengaturan kembali terhadap jenis barang kena pajak berupa televisi, mesin cuci, dan kamera yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dengan ini tentunya harga barang-barang elektronika dapat lebih murah dan penjualan diharapkan meningkat pesat, yang berakibat juga dengan peningkatan ekonomi dan berkurangnya tingkat pengangguran.

2.7  Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Progresif
Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Progresif ini bertujuan untuk mendorong kepemilikan tunggal kendaraan bermotor dalam rangka mengurangi kepadatan lalu lintas.

2.8 Menaikan Tarif Parkir
Tujuan dari menaikan tariff parkir selain untuk meningkatkan penerimaan daerah, juga untuk mengurangi ruang parkir dan mengurangi kemacetan lalu lintas.

2.9 Pajak Penggambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dalam Peraturan Daerah ini selain dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan Daerah dari sektor Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, juga dimaksudkan untuk kepentingan pengendalian lingkungan dalam rangka mempertahankan ekosistem serta untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, juga dalam rangka penyesuaian Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah . Pajak ini dikenakan terhadap gedung-gedung dan tempat hiburan.
Seperti yang kita ketahui bahwa eksploitasi air bawah tanah dan air permukaan secara berlebihan dapat mengakibatkan rusaknya struktur tanah dan ekosistem lingkungan, selain itu dapat mengakibatkan kekeringan pada daerah di sekitarnya. Maka dengan adanya pajak ini diharapkan dampak negatif diatas dapat ditekan dengan cara pembebanan tarif terhadap pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, serta mendorong pengelola gedung dan tempat hiburan untuk menggunakan air yang diproduksi oleh pemerintah, sehingga pemerintah juga diuntungkan dari produksi air (Air PAM).























Bab III
Kesimpulan & Saran
a.      Kesimpulan
  ·       Untuk membangun negaranya Indonesia harus dapat menyinergikan antara fungsi budgeting dengan fungsi regulasi dari pajak.
·      Untuk dapat maju dan bersaing dengan dunia Indonesia harus dapat memberikan kemudahan investasi dengan cara menyederhanakan birokrasi.Karena perizinan yang mudah dapat memperbaiki iklim investasi, sehingga investor dapat tertarik.
·      Stimulus fiskal dan non fiskal harus diberikan kepada dunia usaha untuk dapat meningkatkan daya saing
·      Pajak jangan hanya dipandang sebagai instrument budgeting saja, tetapi juga sebagai regulator untuk mengatur jalannya roda pemerintahan untuk mencapai tujuan bangsa.
·      Pemerintah perlu melindungi pelaku usaha dalam negeri dari serbuan hujan produk impor china dan perlu juga membebaskan bea masuk terhadap bahan baku yang diperlukan untuk produksi dalam negeri agar dapat meningkatkan daya saing.
·      Pemerintah harus membangun infrastrukturnya agar kegiatan ekonomi dapat berjalan nlancar.
·      Pemerintah harus menyiapkan pemberian penangguhan pembayaran pajak (tax holiday) dengan pembahasan yang serius dan komprehensif untuk dapat bersaing dengan Negara lain.
·      Dengan pajak sebagai regulator, pemerintah dapat melindungi kesehatan masyarakat, melindungi ekosistem lingkungan, mengurangi kemiskinan dan mengurangi kemacetan serta masalah lainnya dapat ditata dengan pajak, sehingga dapat mencapai tujuan nasional.
·      Semua upaya yang dilakukan haruslah sebanding juga dengan peningkatan kualitas birokrasi dan moral para “PEMEGANG AMANAH ” pengelolaan uang rakyat.
b. Saran
penulis harapkan makalah ini bukan hanya di baca saja akan tetapi dapat diambil beberapa makna yang ada di dalamnya.


Daftar Pustaka

http://www.yousaytoo.com/ochiana048/apa-itu-stimulus-fiskal/21984
http://id.wikipedia.com
Sugianto, Hukum Pajak (Penerimaan, Kebijakan Perpajakan dan Instrumen Pengamanan dalam Rangka Perdagangan Bebas), Hal.51
Sugianto.2010. Hukum Pajak : Penerimaan, Kebijakan Perpajakan dan Instrumen Pengaman Dalam Rangka Perdagangan Bebas. Jakarta. Hal 15.
Undang-undang No.11 Tahun 1995 tentang cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3613) Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4755)
Penjelasan PERDA Provinsi DKI Jakarta No.1 Tahun 2004 Tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. www.dispendadki.go.id